Mataram, 30 Oktober 2025 —
Badai NTB yang konsisten menyuarakan Gerakan Bongkar Bandar menyoroti lemahnya sistem penegakan hukum terhadap kasus narkotika di Nusa Tenggara Barat (NTB), di mana penangkapan demi penangkapan tidak diikuti efek jera yang nyata.
Berdasarkan data resmi Polda NTB dan BNN, dalam dua tahun terakhir peredaran narkoba di NTB masih pada tingkat mengkhawatirkan. Tahun 2024 tercatat 886 kasus dengan 1.184 tersangka, dan Tahun 2025 (hingga Agustus) tercatat 529 kasus dengan 781 tersangka. Sementara prevalensi penyalahgunaan di NTB mencapai 1,73% dari total penduduk atau sekitar 64.000 orang pengguna aktif (BNNP NTB, 2024).
“Angkanya besar, tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana separuh dari mereka justru kembali bebas di tengah masyarakat tanpa kejelasan status hukum dan akhirnya tetap kembali dalam jaringan,” ujar Badai NTB aktivis yang kini menginisiasi Raperda Pemanfaatan Aset Sitaan Narkotika dan Pencegahan Pencucian Uang dari Kejahatan Narkotika.
Beberapa kasus di wilayah hukum Polda NTB dalam setahun terakhir menunjukkan pola yang berulang, contohnya kasus penggerebekan di Lombok Timur, Lombok Tengah, Dompu, Kota Bima dan Sumbawa (sejak Januari 2025), di mana separuh warga yang sempat diamankan akhirnya dilepas karena “alat bukti tidak cukup”.
Kasus di Polres Bima Kota, yang meskipun berhasil mengungkap ratusan kasus narkoba selama 2024-2025, tetap menghadapi kendala proses hukum lanjutan akibat lemahnya barang bukti dan koordinasi antarlembaga dan beberapa putusan pengadilan tahun 2022–2025 menunjukkan terdakwa bandar divonis bebas karena proses pembuktian tidak terpenuhi secara formil.
Fenomena ini memperkuat anggapan publik bahwa penegakan hukum terhadap narkoba di NTB hanya berhenti pada seremoni penangkapan. Banyak pelaku kecil dan pengguna diproses, sementara jaringan dan bandar besar lolos karena lemahnya penelusuran aset dan aliran uang.
Menurut Badai NTB, akar persoalannya ada pada ketidakmampuan sistem hukum mematikan sumber ekonomi kejahatan.
“Selama uang hasil narkoba bisa disembunyikan, selama asetnya tidak dikelola transparan, jaringan akan selalu hidup. Kita bisa tangkap 100 orang, tapi tanpa menyentuh uangnya, kejahatan akan lahir lagi,” tegasnya.
Badai NTB menambahkan, Raperda yang sedang disusun olehnya bukan sekadar ide, tetapi rancangan solusi sistemik yang mengubah pola “tangkap-lepas” menjadi “tangkap-pulihkan.”
Isi Pokok Solusi dalam Raperda yang disusun oleh Badai NTB yaitu:
1. Pemanfaatan aset sitaan (tanah, rumah, kendaraan, uang tunai, rekening, dan perhiasan) untuk kepentingan sosial seperti beasiswa anak korban penyalahgunaan, rehabilitasi pengguna, pemberdayaan ekonomi keluarga terdampak.
2. Pembentukan Unit Analisis Aset Daerah (UAAD) untuk mendeteksi, mengelola, dan melaporkan aset hasil kejahatan narkoba secara terbuka.
3. Portal transparansi publik, yang menampilkan status aset sitaan, proses hukum, dan hasil pemanfaatannya.
4. Kewajiban laporan tahunan ke DPRD dan publik agar tidak ada lagi aset yang “hilang” setelah penangkapan.
Dengan sistem ini, efek jera tidak lagi bergantung pada lamanya hukuman, tapi pada hilangnya keuntungan ekonomi dari kejahatan.
Badai NTB mendesak DPRD NTB dan Gubernur NTB untuk memasukkan Raperda ini ke dalam PROPEMPERDA 2026 dan segera menggelar rapat dengar pendapat publik. Ia juga mengajak Bupati, Wali Kota, dan DPRD Kabupaten/Kota di seluruh NTB untuk mengadaptasi rancangan serupa di daerah masing-masing.
“Saya tidak sedang mencari panggung. Saya sedang menguji keseriusan pemerintah. Kalau mereka sungguh-sungguh ingin perang melawan narkoba, buktikan dengan kebijakan, bukan dengan baliho.”
