
Penulis : Muhtar S.Ag.
Fenomena banyaknya ASN di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bima yang mengajukan pindah ke luar daerah tak bisa dilepaskan dari dinamika politik lokal, terutama pasca-Pilkada. Sebagai warga, kami melihat ini bukan sekadar soal , tapi lebih pada ASN politik praktis yang mencemari birokrasi.
Saat Pilkada berlangsung, banyak ASN diduga “terseret” ke dalam pusaran politik—baik secara sukarela maupun karena tekanan. Ada yang terang-terangan mendukung calon tertentu, ada pula yang bermain dua kaki demi posisi aman. Padahal, netralitas ASN adalah harga mati dalam demokrasi yang sehat.
Kini, setelah kekuasaan berganti atau arah politik berubah, sebagian ASN merasa tak nyaman. Mereka memilih mengajukan pindah karena tidak lagi merasa aman, nyaman, atau bahkan tidak mendapatkan ruang profesional untuk berkembang. Ini jelas dampak langsung dari politik praktis yang merusak tatanan birokrasi.
Kami sebagai warga hanya ingin dilayani oleh aparatur yang profesional, bukan yang sibuk berpolitik. Kalau setiap Pilkada membuat birokrasi terguncang, pegawai pindah, loyalitas terbelah, maka pelayanan publik akan selalu jadi korban.
Pemerintah daerah dan instansi terkait harus berani bersikap tegas: ASN yang bermain politik praktis harus diberi sanksi, dan sistem pembinaan kepegawaian perlu dibersihkan dari unsur-unsur kepentingan politik. Biarkan ASN bekerja sesuai kompetensi dan panggilan tugas, bukan karena “warna politik”.
Karena kalau begini terus, setiap Pilkada akan melahirkan luka baru di tubuh birokrasi. (Red).