
Oleh: HM. Amin. (Ketua Forum Umat Islam (FUI) Kabupaten Dompu)
Tulisan tentang makna Tarian Ritual Ou Balumba yang beberapa kali beredar di grup WhatsApp Lakeynews, menimbulkan keprihatinan mendalam. Bagaimana tidak? Dalam narasi yang disajikan, pembaca diajak menjiwai makna-makna animistik yang menjurus pada pemujaan terhadap laut dan kekuatan alam. Kalimat seperti “setiap dentuman ombak adalah bahasa PENJAGA LAUT” serta “Tarian ini doa dalam bentuk tabuh, seruan manusia kepada LAUT YANG AGUNG”, jelas menyimpang dari ajaran tauhid yang menjadi dasar iman umat Islam.
Puncaknya adalah ketika simbol-simbol ritual seperti “cambuk kulit untuk memanggil PETIR dan ANGIN” serta “periuk tanah lambang rahim bumi yang dipecah sebagai persembahan pada SAMUDRA” dinarasikan seolah bagian dari kearifan budaya. Padahal, bila ditelaah dengan kacamata Islam, ini adalah bentuk syirik yang nyata—pengkultusan benda mati dan pengharapan kepada sesuatu selain Allah SWT.
Sejak tahun 2001, Bumi Nggahi Rawi Pahu sudah menanamkan Visi Religius dalam seluruh arah kebijakan dan langkah pembangunan daerah. Melalui Perda Nomor 1 Tahun 2001, prinsip tauhid telah dijadikan pondasi daerah. Semua Bupati, sejak H. Abubakar Ahmad (Ompu Beko) hingga saat ini, menjadikan visi religius sebagai kompas utama. Maka, menjadi hal yang sangat ironis ketika justru dalam momentum resmi seperti Festival Lakey 2025, ritual bernuansa syirik seperti Ou Balumba diberi ruang yang begitu besar.
Apakah kita hendak melupakan sejarah kita sebagai daerah yang dipimpin para Sultan? Yang hukumnya bersendikan syara’, dan syara’ bersendikan Kitabullah? Budaya lokal kita bukanlah budaya animisme. Nilai-nilai Islam sudah sejak lama menyatu dalam identitas orang Dompu.
Islam telah memberi petunjuk yang sangat terang. Jika kita mengharap keberkahan laut, memohonlah kepada Allah SWT, bukan kepada laut atau “penjaga” laut. Dalam Surah Yunus ayat 106, Allah menegaskan: “Janganlah kamu berdoa (beribadah) kepada selain Allah, sesuatu yang jelas tidak berkuasa memberikan manfaat dan mudharat kepadamu. Kalau kamu tetap melakukannya maka kamu benar-benar termasuk orang yang berbuat zalim.”
Bukan hanya tidak rasional, tapi juga bertentangan dengan akidah. Ribuan orang dikumpulkan untuk ritual yang tidak hanya menjurus pada kesyirikan, namun juga bisa mendatangkan musibah. Allah mengingatkan dalam QS Asy-Syura:30, “Apa saja musibah yang menimpa kamu adalah akibat perbuatan tanganmu sendiri.”
Laut bukan tempat meminta berkah. Laut adalah ciptaan Allah yang ditundukkan untuk manusia. Dalam QS An-Nahl:14, Allah menegaskan bahwa Dia-lah yang menundukkan laut agar manusia bisa mengambil ikan, perhiasan, dan berlayar di atasnya sebagai bentuk karunia yang harus disyukuri—bukan dipuja.
Kita tidak anti budaya, tapi kita menolak keras budaya yang bertentangan dengan aqidah. Jangan bungkus kesyirikan dengan narasi pelestarian budaya. Jangan sebut permohonan kepada laut sebagai kearifan lokal. Kita mesti lebih tegas menyaring budaya mana yang patut dilestarikan, dan mana yang harus dihentikan.
Tarian Ou Balumba dalam bentuk ritual pemanggilan roh laut, persembahan kepada samudra, dan simbol-simbol kekuatan alam, harus dihentikan. Jika perlu, Pemerintah Daerah membatalkan ritual tersebut dari rangkaian Festival Lakey. Kita semua bertanggung jawab menjaga kemurnian aqidah di Bumi Nggahi Rawi Pahu.
(tulisan ini pernah di muat di media online Lakeynews)