Jakarta – Dunia maya kembali dibuat gempar dengan drama terbaru dari sosok yang sempat viral karena menghina Presiden Joko Widodo. Dulu tampil percaya diri sebagai “ilmuwan” dan merasa paling tahu soal kebijakan negara, kini mendadak merendah dan mengaku sebagai ibu rumah tangga ketika berhadapan dengan jerat hukum.
Sosok ini, yang namanya sempat ramai di jagat media sosial karena kritik keras—yang kerap kali tidak berdasar—terhadap pemerintah, kini harus menghadapi kenyataan pahit: proses hukum yang menantinya. Ironisnya, ketika kritiknya dahulu dilontarkan dengan penuh keyakinan, kini saat dipanggil aparat, narasi pun berubah total.
“Dia dulu mengaku sebagai akademisi, punya gelar tinggi, bahkan merasa lebih paham soal konstitusi dibanding pejabat negara. Tapi giliran diperiksa polisi, bilangnya cuma ibu rumah tangga,” kata seorang netizen yang mengomentari perkembangan kasus ini.
Kejadian semacam ini bukan yang pertama. Publik tentu belum lupa bagaimana beberapa tokoh di media sosial kerap memposisikan diri sebagai “korban” saat proses hukum berjalan, meski sebelumnya tampil agresif saat melempar kritik tajam dan kadang provokatif.
Bukan Soal Kritik, Tapi Etika
Perlu digarisbawahi: kritik terhadap pemerintah adalah bagian dari demokrasi. Namun, saat kritik berubah menjadi hinaan personal, hoaks, dan ujaran kebencian, maka hukum pun akan berbicara. Undang-undang ITE dan KUHP bukan sekadar pajangan—siapa pun yang menyebarkan ujaran kebencian harus siap menanggung konsekuensinya.
Masyarakat kini makin cerdas membedakan antara kritik membangun dan ujaran kebencian. Dan netizen pun tak lagi mudah terpancing oleh mereka yang mendadak “lupa identitas” saat berhadapan dengan hukum.
Kesimpulan
Kebebasan berekspresi adalah hak setiap warga negara, tapi tidak berarti bebas menghina seenaknya. Hari ini mungkin bisa berbicara lantang di media sosial, tapi jika tidak disertai tanggung jawab, besok bisa berujung ke ranah hukum.
Dan ketika itu terjadi, publik pun tidak akan mudah lupa siapa yang dulu mengaku ilmuwan, tapi kini berlindung di balik status ibu rumah tangga.